Issue Archepelago state dan atau politik maritim Indonesia mendapat atensi luas terutama di kalangan intelektual kampus.Issue ini dipandang strategis, wajib menjadi issue Pilpres agar rezim kekuasaan hasil Pilpres 2024 nantinya menempatkan konsep archipelago State sebagai maeanstream kebijakan pembangunan nasional.
Fakta geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau yang didiami ratusan juta penduduk Indonesian dinilai menyimpan potensi ketidakadilan sosial disana.
Diakui bahwa politik archepelago State telah mendapat perhatian di era rezim Jokowi yakni melaui konsep Indonesia poros maritim dunia namun pada tataran derivatif dan implementasi dinilai masih menyisakan kelemahan sistematis dan ketidakadilan pada tataran implementasi yang berarti.
Dr.Mukhtar Adam memberikan kritik tajam terhadap konsep dan kebijakan implementasi Indonesia Poris Maritim Dunia ini.
Perspektif.
Negara Kepulauan (bahasa Inggris: archipelagic state) adalah suatu istilah yang berasal dari hasil keputusan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang memiliki arti suatu negara pulau yang wilayahnya terdiri atas satu gugus kepulauan besar atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Periode 2012—2015, Laksamana TNI (Purn) Dr. Marsetio yang juga pernah menjadi utusan khusus pada International Maritime Organizations (IMO) di London mometret penting dan strategisnya issue politik maritim ini dalam berbagai kepentingan bangsa. Dalam sebuah kesempatan mengisi kuliah umum tentang kemaritiman menyampaikan pemikiran tentang Indonesia The Archipelago State itu mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang kuat sebagai poros maritim dunia. Menurutnya, terdapat lima pilar kebijakan maritim yang seharusnya menjadi landasan Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia.
“Lima pilar kebijakan maritim yang perlu diperhatikan adalah budaya maritim, sumber daya maritim, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, serta pertahanan maritim. Kesemuanya itu yang baru saja dipikirkan presiden Indonesia saat ini dalam nawa cita, yang seperti tidak difokuskan oleh presiden sebelumnya,” jelas Marsetio.
Laksamana TNI Marsetio nampak memberikan jempol bagi Jokowi yang telah memiliki visi dan komitmen mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.Visi yang sejatinya menempatkan politik maritim sebagai arus utama kebijakan pembangunan nasional.
Problem.
Jempol sang Laksamana kepada rezim Jokowi masih menuai interupsi kalangan akademisi. Oleh Mukhtar Adam, Boro-boro, politik maritim Indonesia sebagai poros maritim dunia namun implementasinya jadi Indonesia adalah pusat industri tambang dunia dengan berbagai dampak diametrikalnya. Beragam sistem baru lahir seperti UU Omnibuslaw justru hanya memberi karpet merah bagi investor tambang yang pada kenyataannya memang selaras dengan pertumbuhan ekonomi yang meroket namun juga linear dengan kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup.Soal pergeseran masyarakat agraris ke masyarakat industri menjadi problem serius lainya.
Premis Ekonom Mukhtar Adam bahwa visi archepelago state belum menemukan tempat ideal dalam konsep kebijakan pembangunan nasional.Dia menawarkan Archepelago State harus menjadi issue utama politik pembangunan nasional. Wajib hukumnya bagi pemerintah dan para kontestan capres menempatkan sebagai issue maeanstream mereka.
Mukhtar menilai ada yang salah dalam konsep pembangunan selama ini bahkan sampai pada era rezim Jokowi dengan Indonesia poros maritim dunia nya.Faktanya, Indonesia adalah archepelago State namun disikapi dengan konsep kebijakan pembangunan continental State.Akibatnya, bauran kebijakan pembangunan nasional belum menjadi solusi strategis terhadao problem pembangunan bangsa.
Tol laut dengan kebijakan derivatif dari Indonesia poros maritim Dunia diduga hanya menguntungkan kartel, karena pola subsidi hanya kepada pedagang potensial terjadi praktek kartel sehingg tidak mengatasi disparitas harga antar wilayah kepulauan pada sisi lainnya.
Akademisi langganan narasumber di forum-forum perencanaan pembangunan Kementerian PPN dan BAPENAS ini melihat pentingnya paket capres-cawapres menaruh atensi serius pada visi archepelago State dengan beberapa pertimbangan ; Pertama, archepelago State merupakan perintah konstitusi.Pembangunan model gugus pukau sebagai janji kemerdekaan yang menjadi bagian penting dari deklarasi Juanda yang di perjuangan Prof Mochtar Kusumaatmadja di forum PBB yang menetapkan UNCLOS 82, telah di ratifikasi oleh berbagai negara, namun model pembangunan selama pemerintahan Jokowi berbasis kontinental, Isyu Maritim Poros Dunia hanya slogan yang belum berkelanjutan. Tol Laut hanya mampu memberi subsidi logistik ke Pedagang, belum innline dengan fenomena rakyat kepulauan.Tol laut potensial membuka ruang terjadinya kartel sehingga target Tol laut justru tidak tercapai, tidak linear dengan harga barang yang murah dan terjangkau diseuruh wilayah Indonesia.
Ke dua, Kebijakan Sentralisasi Fiskal, melalui UU 1/2022 bersifat kontinental dimana dalam konsep dan praktisnya telah menarik kewenangan daerah ke pusat, dengan konsep Fiskal Kontinental, telah merumuskan arah kebijakan fiskal berpusat di pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan, yang juga berdampak pada pemusatan kegiatan ekonomi 62% ekonomi bangsa ada di pulau Jawa, 20% di Sumatera, kepulauan Maluku hanya mampu berkontribusi 0.62% yang sama dengan pola alokasi fiskal Nasional.
Mukhtar membeberkan, Sebagai negara kepulauan yang dibagi dalam 7 gugus Pulau, yang meliputi (1) Gugus Pulau Sumatera, (2) Gugus Pulau Jawa, (3) Gugus Pulau Kalimantan, (4) Gugus Pulau Sulawesi, (5) Gugus Pulau Nusa Bali, (6) Gugus Pulau Maluku (7) Gugus Pulau Papua, pada masa 2 periode RPJMN menghasilakn ketimpangan yang makin melebar, dengan struktur ekonomi yang timpang terlihat dalam konstribusi kepulauan Jawa yang menyedor ekonomi Indonesia mencapai 56,37 persen dari total PDBm disusul Sumater 33,04 Persen, Kalimantan 9,22%, Sulawesi 7,03%, Bali Nusa 2,73%, Papua dan Maluku berkonstribusi 0 persen terhadap pembentukan {DB Nasional, BPS 2023.
Pelebaran konstribusi kegiatan ekonomi di gugus pulau, sebagai dampak dari alokasi Fiskal yang tercermin dalam APBN yang terkosentrasi dalam Pembangunan ekonomi Kepulauan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.Lanjut dia bahwa jika di potret dari sisi desentralisasi fiscal, terlihat pula kosentrasi Dana Alokasi Umum (DAU) di pulau Jawa, yang menyedot DAU mencapai 37,82%, sedangkan instrument fiscal lainnya seperti Dana Alokasi Khusus, terkosentrasi di Pulau Sumatera, yang menyedot DAK mencapai 45,82%.Dia menyatakan, ketimpangan Pembangunan gugus pulau memiliki korelasi positif antar Investasi Pemerintah (APBN) dan kosentrasi ekonomi (PDB), yang membuat problem dasar Indonesia sebagai negara kepulauan mengalami disparitas yang terus makin melebar.
Mencermati hal tersebut, Mukhtar Adam memberikan rekomendasi Kebijakan sebagai berikut ; pertama, Kebijakan Pembangunan Gugus Pulau pada Negara Kepulauan, dengan pembagian urusan yang nyata dan terdistribusi merata di seluruh gugus pulau di Negara Kepulauan, melalui pembagian kewenangan Antar Pulau dan Gugus Pulau Menjadi Kewenangan Negara, dan Kewenangan Negara yang di delegasikan ke Pemerintah Provinsi Gugus Pulau.
Ke dua, Merumuskan ulang Model Desentralisasi Gugus Pulau, yang tidak menciptakan pemusatan aliran fiscal di pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi.
Ke tiga, Mencabut UU 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang telah mengalami pergeseran dari desentralisasi ke sentralisasi fiscal
Ke empat, Membentuk Kementerian Koordinator Kepulauan, dengan menganti Kementerian Koordinator Kemaritiman
Ke lima, Membentuk keunggulan setiap gugus pulau, melalui reindustrialisasi yang berbasis sumberdaya local yang inklusif bagi Masyarakat gugus pulau
Oleh Mukhtar, “Lima rekomendasi kebijakan diajukan sebagai tawaran kepada para Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang akan dituangkan dalam naskah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029”.
AMIN dan Visi Archepelago State.
Paket AMIN dengan visi perubahan menuju keadilan sosial bagi seuruh rakyat Indonesia sangat inheren dengan visi archepelago State ini.
Apa yang ditulis Anies pada opininya di Kompas tentang di Pulau Sabira, Kepulauan Seribu, Jakarta merupakan gambaran visi dan konsep archepelago state sebagai peta jalan menuju keadilan sosial bagi seuruh rakyat Indonesia.
“Nama sang penjaga itu Pulau Sebira. Letaknya di ujung utara Jakarta, bahkan secara geografis lebih dekat dengan Pulau Sumatera daripada ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Mungkin banyak orang akan menganggapnya jauh.
Jarak kilometernya dari Monas memang jauh. Namun, perspektif jauh-dekat semacam itu perlu kita ubah. Semua pulau di Indonesia jaraknya adalah nol kilometer dari Ibu Pertiwi.
Beranjak dari perspektif tak ada yang dinomorduakan, kita mewujudkan hak-hak dasar di Pulau Sebira. Layanan listrik hadir, air bersih mengalir, akses pasar pangan dan kapal bisa melintas tiap hari.
Dalam hitungan matematis, pemberian layanan semacam itu bisa dianggap tak menguntungkan. Namun, Republik ini hadir bukan untuk memilah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Republik ini tak dibangun dengan logika untung rugi. Republik ini berdiri dengan sebuah janji: menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali! Janji keadilan sosial bukan saatnya hanya jadi dokumen sejarah
Kami ingin memanifestasikan keadilan sosial melalui gagasan yang konkret. Gagasan yang bisa meluruskan jalan bagi masa depan Republik ini”
Tulisan Anies secara jelas dan lugas menggambarkan visi AMIN bahwa seluruh warga negara berhak memperoleh akses pelayanan yang adil dan merata.Demikian pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan hajat hidup rakyatnya melalui kebijakan yang adil.(***)