Ada berita media,polisi perintah bongkar tenda kawinan yang menutup jalan raya di sebuah kelurahan di Ternate.Masih menurut berita ini,ijin penggunaan badan jalan yang di berikan hanya sebagian dengan maksud agar bisa di pakai sebagiannya oleh pengguna jalan tetapi di tutup semua yang menyebabkan pengguna jalan harus memutar relatif jauh atau menempuh “jalan tikus”,sebutan untuk jalan lorong.
Fenomena “tutup jalan” dan keluhan warga di Ternate,bukan hal baru.Yang baru,mungkin penyalahgunaan izinnya.Dalam kasus seperti berita tadi,tentu menyisakan banyak akibat buruknya apalagi di jalan utama.Di media sosial Facebook,sering kita baca beragam keluhan warga dengan macam-macam komentar dan tanggapan.Tetapi umumnya,menyatakan ketidaksetujuan hingga “protes keras” dengan berbagai alasan.Yang paling umum,sebagai sebuah kota kecil dengan tingkat kepadatan penduduk dan mobilitas kota yang tinggi termasuk rasio pengguna jalan,menutup sebagian badan jalan saja,sudah memicu kesemrawutan yang gawat.Apalagi itu di jalan-jalan utama atau yang sedikit pilihan jalan alternatifnya.
Urusan “pele jalan” ini,sebutan untuk menutup jalan,bukan monopoli Ternate,di Tidore juga sama.Dua kota pulau yang kecil,meski beda mobilitas dan rasio pengguna serta jalan yang jadi alternatif.Di Tidore,bagi sebagian pengguna jalan yang rutin menggunakan jalur Soasio-Rum,akan punya kesimpulan umum,kampung-kampung mana saja yang kawan saya menyebutnya “raja pele jalan”,paling sering menutup badan jalan karena macam-macam alasan.Jalur Saosio-Rum ini,hanya satu jalan porosnya.Jalan alternatif tak semua ada.Bahkan beberapa bulan belakangan,trend penggunaan badan jalan untuk acara-acara keluarga sudah melingkar pulau Tidore.Di jalan “belakang gunung” juga mulai terlihat.Saya,bahkan pernah berpapasan di sini,ada tiga titik di waktu bersamaan.Bedanya,mobilitas pengguna saja.
Komentar