Cerita Miris di Tiris Masjid : Antara Biaya “Sombong” dan Anak-Anak “Terlantar” [Part.57].
Anwar Husen/Kolomnis tetap/tinggal di Tidore.
Berpuluh tahun lalu,tapi masih lekat di memori saya.Di sebuah masjid,sang khotib berkhutbah di waktu jumat,yang materinya terbilang “berat” untuk di cerna rata-rata jamaah.Sang khotib mengurai tentang implikasi globalisasi,kehidupan yang mulai mengglobal dengan memberi beberapa contoh di negara-negara maju.Entahlah,mungkin saja materinya sedikit di pengaruhi oleh trend saat itu,di mana,istilah globalisasi baru tenar dan seolah menjadi ukuran untuk “kadar” wawasan dan pengetahuan jika orang menyelipkan istilah ini dalam pembicaraannya.
Itu materi khutbah jumat di masjid.Di luar masjid,bahkan bisa di bilang tiris,ada gejala prilaku menyimpang anak-anak muda usia sekolah yang bikin resah warga yang punya hewan piaran,ayam hingga kambing.Saban waktu terendus aroma “berita kehilangan” hewan-hewan piaran itu.Setelah ada “investigasi” swadaya masyarakat,di temukan fakta bahwa hewan-hewan piaran tadi di curi dan di olahnya agak jauh dari pemukiman,di hutan,oleh kelompok anak-anak tadi.Alhasil,materi khutbah dan faktanya di sekitar masjid menjadi dua hal yang paradoks,berlawanan secara diameterial,membuat miris.
_________________
Pekan lalu di sebuah bengkel mobil,saya menikmati cerita seorang karib sesama warga kampung tentang hal yang mirip.Sekelompok anak-anak usia sekolah,bahkan berkatagori di bawah umur,kedapatan berbuat nakal,entah apa bisa di sebut kenakalan remaja.Nakalnya berbentuk,di samping merokok,juga mengganti fungsi menuman beralkohol dengan sejenis lem kemudian di hirup.Karib saya yang tentara di sebuah koramil ini bertutur,ini di lakukan anak-anak di kampung kami,yang nyaris “tersimpan” rapi.Sembari memperlihatkan beberapa potongan foto dan screenshot,mereka punya WAG untuk media komunikasi.Ketika fakta ini menyeruak dan di laporkan ke aparat penegak hukum,mereka “terbebas” dari jeratan karena fakta di bawah umur tadi.Dan secara moril sebagai warga kampung,karib ini memberi “pelajaran” versinya buat kelompok anak-anak ini,bercukur rambut,berlari sambil “mengabarkan” kepada warga kampung tentang “dosa” mereka.
Di kampung ini,khususnya di lingkungan itu,fakta begini sudah berulang tapi sepertinya terlihat biasa-biasa saja sikap para orang tua hingga warganya yang di anggap pemuka.Padahal di kampung sama tetapi di lingkungan yang lebih “metropolis”,saya belum mendengar cerita tentang fakta miris begini.Bagi saya,ada sesuatu yang tidak normal karena berulang di lingkungan yang relatif terisolir,agak kebelakang dan bisa di bilang “kurang gaul”.Di jumat kemarin,ada sedikit cara “standar”,ceramah untuk memotivasi serta menjelaskan sedikit uraian akibat medis penggunaan bahan-bahan terlarang,sekedar itu.Entah karena baru di ketahui atau kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.Tentu berbeda “aroma” dan pengaruhnya dengan kompleks pemukiman yang ramai dan heterogen.Menanggapinya,saya iseng menuliskan pesan pendek di akun facebook @Karivela_Anwar bahwa andai tempat ibadah itu bisa menjadi inspirasi penebar kebaikan dan pencegah keburukan di radius 500 meter keliling saja,maka kecil kemungkinan ada potensi kejahatan di sebuah komunitas karena nyaris,kita di kelilingi tempat ibadah.
jika itu tidak terjadi dan malah keburukan bisa terjadi di tiris tempat ibadah,artinya kita gagal memberi makna padanya sebagai sumber penebar maslahat bersama.
Jika jamaah masjid di “tagih” infaqnya,paling rutin setiap jumat,maka “konpensasi” atasnya,salah satunya dapat berupa tanggungjawab moril dan upaya mendorong generasi muda di sekitar menjadi lebih baik,minimal tidak menjadi lebih buruk.Bukan sibuk mempercantik masjid dan tanggungjawab tadi terabaikan.
Wajar kemudian,mindset begini di gugat hingga ajakan untuk stop berinfaq di masjid.Karena seperti telah di terima sebagai kepatutan bahwa infaq itu untuk membuat fisik masjid bertambah mewah terlihat dan mengabaikan aspek pemberdayaan umat,hingga infaq jamaah di terjemahkan sebagai “biaya sombong” karena dominan di manfaatkan untuk memoles fisik masjid,bahkan hingga terkesan berlomba.
Soal mindset tentang fungsi masjid yang terbawa kebiasaan selama ini,mari kita sedikit berlogika sederhana : menyandingkan nilai bangunan yang miliaran itu dengan fakta pemanfaatannya dalam sehari.Jika kita berjamaah seharian itu 5 kali, yang rata-rata memakan waktu paling lama 15 menit maka “pemanfaatan”nya hanya 1 jam 15 menit dari waktu 24 jam.Selebihnya,fisik bangunannya “terbiar” begitu saja di terpa panas dan hujan.Bukankah secara ekonomis,kita “merugi”???.Bangunan mewah,di bangun dengan berbagai pengorbanan yang hebat,hanya sesedikit itu di fungsikan.Belum lagi di tambah prilaku pengelolanya yang tak cukup wawasan,memproteksi dengan sering mengunci,melarang anak-anak beraktifitas positif di masjid seolah mereka adalah pemiliknya dan anak-anak itu adalah sumber keonaran.
Ada fakta yang lucu,jelang ramadhan,yang di bahas adalah bagaimana cara memproteksi anak-anak agar tidak buat gaduh di tarwih nanti dengan cara “mengurung” shaf mereka agar mudah di awasi dan membuat mereka tak “leluasa”.Bukannya berpikir hal-hal yang prinsip tapi malah membuat jadi serius hal-hal yang sepele.Ini mindset bawaan dari kebiasaan lama yang tak pernah di kritisi.Orang berakal sehat tak butuh referensi dalil yang lebih sekedar memahami hal remeh temeh begini.Hal pertama yang harus kita pikirkan tentang hubungan anak-anak dengan tempat ibadah adalah bagaimana membuat hati mereka berpaut dengannya.Ini malah di anggap “pengacau”,wajar kalau tumbuh mentalitas inferior dan bisa jadi memicu konpensasi lain.
Kita masih mewarisi kebiasaan masyarakat yang lebih memilih berinfak di tempat ibadah ketimbang di panti asuhan,taman pengajian atau bahkan menyantuni kaum fakir di sekitar mereka.Mestinya,masjid bisa hadir sebagai jembatan menyampaikan niat yang beramal ini secara lebih fungsional.Kita memimpikan minimal,ada sebagian infaq setiap jumat itu di sisihkan untuk anak yatim dan kaum fakir di radius sekitar masjid secara bergiliran.Manfaatnya???mereka mungkin tertolong,tumbuh kesadaran positif tentang fungsi masjid hingga memotivasi keluarganya datang ke masjid,dan yang paling penting,kita bisa memotret kehidupan kesehariannya saat bersilaturahmi itu.
Hal lain,soal materi khutbah.Sedapatnya materi itu harus fungsional,memiliki urgensi cara memecahkan masalah jika ada hal atau gejala keburukan yang di hadapi lingkungan sekitar masjid sehingga bisa memperkaya sudut pandang dalam memecahkan apapun masalah yang di hadapi.Urusan agama itu tidak sekedar halal-haram.Orang yang berkekurangan akan sangat membutuhkan kecukupan makanan yang halal,karenanya,memberi mereka cara untuk mendapatkannya,jauh lebih penting dan mendesak ketimbang mendudukan perkara halal-haram.
Mengubah mindset yang telah “berlumut” kebiasaan yang terwariskan memang sulit.Implikasi dari jaman yang bergerak berubah,sangat lambat di adaptasi secara kreatif karena cara berpikir kita terkesan “ketinggalan jaman”.Dan anak-anak di bawah umur tadi hanya “korban”nya.Wallahua’lam.