Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah [BMH] memberi panduan cara menghitung daging qurban berdasarkan berat hewan qurban.Jika hewan qurban sapi memiliki berat hidup 350 kg,maka berat karkasnya akan menjadi 50 persen dari berat hidupnya yaitu 175 kg.Berat dagingnya di hitung 70 persen dari berat karkasnya adalah 122.5 kg.Ini untuk klasifikasi dagingnya saja,belum termasuk “potensi”nya lain.
Dengan asumsi menggunakan perhitungan ini maka kita relatif bisa mendapatkan “gambaran” sebagai basis “manajemen” menghitung potensi warga di lingkungan masjid di luar shohibul qurban yang akan menerima dan perkara pembagiannya.Jika ini di lakukan,kita bisa menghindari potensi “ketimpangan” yang mungkin saja terjadi : masjid yang relatif sedikit jumlah warga di lingkungannya,punya potensi qurban yang besar,dan tentu sebaliknya,potensi penerimanya besar tetapi potensi daging qurbannya sedikit.Di sini potensial terjadi adu “kecepatan” yang saya maksudkan tadi.Ketimpangan kayak begini,tentunya tak di maksudkan sebagai tujuan syariat dan hakikat ibadah qurban.
Kurang lebih mirip dengan ide dalam tulisan kolom ini sebelumnya tentang manajemen pengelolaan sumber daya Zakat,Infaq dan Sadaqah [ZIS] lalu.Ada mekanisme “subsidi silang” : dengan “restu” shohibul qurban,di luar ketentuan bernazar tentunya,bisa di bagi ke masjid atau lembaga sosial keagamaan lainnya yang turut melaksanakan qurban agar potensi penerimanya bisa di jangkau.
Kita tentu tak enak hati melihat atau bahkan mengganggu sensitifitas rasa adik jika masjid di lingkungan kita bisa berqurban puluhan ekor hewan,sedangkan masjid sebelah lingkungan harus “mengemis” karena potensi qurbannya sangat sedikit padahal punya potensi warga/jamaah yang relatif sama.Ini harus di atur.Atau “tanggungjawab”nya bisa di ambil oleh masjid raya misalnya,untuk ruang lingkup distribusi dengan skala yang lebih besar.
Komentar