Usai sholat Idul Adha,kami berbincang ringan bersama beberapa jamaah di tenda depan mesjid,yang menggunakan badan jalan karena kapasitas masjid yang terbatas,masjid Nurul Iman kelurahan Santiong,Ternate.Kebetulan ketua BKM-nya sanak saya,Muchsin Hi.Husen.Dia memaklumkan jumlah hewan qurban yang di terima dan shohibul qurbannya sebelum sholat di mulai.Khatibnya seorang profesor dari sebuah perguruan tinggi yang materinya cukup mengena dengan tema.Di perbincangan singkat ini,sempat menyentil soal ibadah qurban di hari raya qurban.Dan bukan soal dalil,apalagi hakikatnya.Ini ringan saja,soal manajemen panitia qurban mengelola niat shohibul qurban,baik itu di masjid maupun di instansi pemerintah.
Muncul beberapa masjid yang panitia qurbannya di anggap bisa mengelola pelaksanaan qurban ini dengan baik,terlebih manajemen pembagiannya.Di soal ketepatan “sasaran” penerima,saya sempat guyon bahwa akan lebih baik bila menggunakan data pemilihan legislatif dan kepala daerah 2019 karena data pileg 2019,juga di gunakan sebagai acuan dalam penentuan prosentase 20 persen untuk dukungan calon presiden di 2024 bagi partai politik karena sudah tentu datanya di akui “luar biasa”.Ini tentu mudah karena berbasis TPS di lingkungan masing-masing.Di postingan facebook saya,@Karivela_Anwar ll,soal ini,komentar seorang karib bikin tambah lucunya.
Karena juga,ada manajemen pengelolaan,khususnya distribusi yang bisa di bilang semrawut.Masih menurut sumber di cerita lepas tadi,yang menjadi hak dari beberapa kaum fakir untuk mendapatkannya,tak bisa di penuhi karena keburu kehabisan “stok” yang membuat pimpinan salah satu instansi pemerintah yang menginisiasinya,marah besar ke panitianya.
Di sebuah masjid yang sering kami jadi jamaahnya,kondisi yang mirip begitu juga,pernah terjadi.Sepertinya tidak terlalu penting bahwa yang berhak atas daging qurban itu menurut syariat agama,ada 3 golongan termasuk shohibul korban,tetapi lebih pada berbasis “kecepatan”,siapa cepat dia dapat,canda teman saya.
Komentar