Rubrik Demokrasi, Mendorong Politik Program di Pemilu Serentak 2024.
By.USMAN SERGI,SH/Pimred dan Presiden PB.MAKABA.
Perspektif.
Demokrasi dipercaya penganutnya sebagai pilihan sistem politik pemerintahan terbaik karena dapat mengakomodasi beragamnya kepentingan dan aspirasi masyarakat. Selain itu, demokrasi juga dapat berperan sebagai wadah pengikat kesepakatan nasional yang harus dihormati dan dijaga oleh seluruh masyarakat.
Secara umum, tujuan demokrasi adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dengan konsep mengedepankan keadilan, kejujuran dan keterbukaan.Pada konsepnya, tujuan demokrasi dalam kehidupan bernegara juga meliputi kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat
Di Indonesia, Demokrasi dimaknai secara karakteristik sebagai demokrasi Pancasila yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pemerintahan yang bertanggung jawab, perundang-undangan yang dipatuhi, dan partisipasi aktif dari seluruh warga negara dalam kehidupan bernegara.
Sistem demokrasi secara konseptual operasional dilaksanakan melaui pemilihan oleh rakyat.Olehnya, dalam sistem demokrasi, Pemilihan umum merupakan instrumen tunggal yang menandai sistem operasional demokrasi.
Firman Wijaya dalam artikel bertajuk “Pemilu 2024; Obsesi Pemilu Demokratis dan Andgame Transisi Demokrasi menyatakan, Pemilu merupakan bagian integral dalam negara demokratis, sebuah conditio sine qua non karena tanpa hadirnya maka negara dianggap menanggalkan demokrasi. Selanjutnya oleh Samuel P. Huntington (1997;5-6) pun menegaskan suatu sistem politik sudah dapat dikatakan demokratis jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur, dan berkala.
Pemilu yang demokratis merupakan sebuah keniscayaan, untuk itu dibutuhkan standar atau parameter untuk mengukur suatu Pemilu tersebut. A. Malik Haramain dan MF. Nurhuda Y. (2000;109-111) menyebutkan ada beberapa standar yang harus menjadi acuan agar Pemilu benar-benar menjadi parameter demokrasi.
Pertama, pelaksanaan Pemilu harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua parpol untuk bersaing secara bebas, jujur dan adil. Kedua, pelaksanaan Pemilu betul-betul dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut mencerminkan kehendak rakyat. Ketiga,pelaksanaan Pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa diskriminasi sedikitpun.
Keempat, Pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung asas kebebasan dan kejujuran. Kelima,pelaksanaan Pemilu khendaknya mempertimbangkan instrumen dan penyelenggaranya, karena sangat mungkin adanya kepentingan penyelenggara (lembaga) sehingga dapat mengganggu kemurnian Pemilu. Dan keenam, pada persoalan yang lebih filosopis, Pemilu khendaknya lebih ditekankan pada manifestasi hak masyarakat.
Namun demikian, demokrasi modern yang kita kenal saat ini tidak tumbuh dalam ruang hampa.Kehadiran dan eksistensi demokrasi modern seperti yang dipraktekkan di Indonesia lahir dan bertumbuh diatas eksistensi budaya masyarakat Indonesia yang telah mengakar.Tak pelak, relasi demokrasi dan budaya ini melahirkan dinamika diametrikal yang pada saat yang sama positif dan negatif.
Prof Siti Zuhro, peneliti senior LIPI memaparkan bahwa Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi sangat erat. Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam merespons tuntutan perubahan, kemungkinan munculnya dua sikap yang secara diametral bertentangan, yaitu “mendukung ” (positif) dan kemungkinan pula “menentang ” (negatif), sulit dielakkan. Sebagai sebuah proses perubahan dalam menciptakan kehidupan politik yang demokratis, realisasi demokratisasi juga dihadapkan pada kedua kutub yang bertentangan itu, yaitu budaya politik masyarakat yang mendukung (positif) dan yang menghambat (negatif) proses demokratisasi.
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi (Almond dan Verba). Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.
Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah “sub-budaya etnik dan daerah ” yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antar budaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi, pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah ” sub-budaya politik ” yang lebih kuat dalam arti primordial.
Dari uraian di atas bisa dibedakan kiranya antara budaya politik (political culture) dan perilaku politik (political behaviour). Yang tersebut terakhir kadang-kadang bisa dipengaruhi oleh budaya politik. Namun, budaya politik tidak selalu tergantung pada perilaku politik. Apakah sistem budaya yang ada cenderung bersifat komunal/kolektif atau individual Masalahnya adalah apakah nilai-nilai demokrasi kompatibel dengan nilai-nilai budaya politik lokal dan sebaliknya.
Agenda demokratisasi seharusnya dipandang berdimensi horizontal (pengaturan hubungan antarinstitusi politik utama) dan vertikal yang membuka ruang bagi akses warga untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Keduanya bisa saling memperkuat dan berjalan simultan. Untuk itu, diperlukan upaya memupuk vitalitas demokrasi seperti pengembangan nilai dan keterampilan demokrasi di kalangan warga, meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan publik dan meningkatkan checks and balances dan rasionalitas politik di antara lembaga-lembaga kekuasaan. Dengan melakukan hal tersebut, jalan bagi demokrasi menjadi lebih terbuka.(R. Siti Zuhro /Ahli Peneliti Utama LIPI)
Dikutip dari media Ponorogo (ponorogo.bawaslu.go.id), Dalam Tadarus Pengawasan Bawaslu RI (5/5), Sri Budi Eko Wardani dari Universitas Indonesia mengemukakan bahwa kampanye Pilkada masih acap kali diwarnai dengan hal-hal yang mengarah pada sikap primordialisme yang mengedepankan kesamaan etnis, suku dan agama, menurutnya hal tersebut dapat mengancam dan membahayakan keberagaman sebagai bangsa.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan banyaknya ulasan mengenai pilkada langsung yang perlu untuk dievaluasi, diantaranya mengenai pandangan yang lebih melihat pilkada dari sisi penggunaan dana, yang mengkerdilkan partisipasi politik yang sudah terbangun saat ini.
“Ada dua tujuan pilkada langsung, yang pertama bertujuan membangun tata kelola politik yang lebih demoktaris yaitu mengacu pada relasi antara kandidat dengan pemilih pada masa pra-pemilu-pemilu-pasca pemilu sehingga terbangunnya akuntabilitas politik. Serta yang kedua perubahan tata kelola pemerintahan (Good Governounce) dan Pemerintahan yan demokratis (Democratic Governounce).” Katanya.
Disisi lain Sri Budi Eko Wardani juga mengungkapkan juga terdapat Isu krusial yang berpengaruh besar adalah dalam praktik kampanye yang didominasi oleh kepentingan kandidat yang bersifat sporadis dan transaksional.
Untuk itu mbak dhani (sapaan akrabnya) menyarankan adanya pendidikan politik oleh Penyelenggara Pemilihan dalam memaksimalkan kegiatan kampanye pilkada yang lebih patisipatik.
Kelembagaan Partai Politik Dan Pengawasan Pemilu
Sementara Ferry Daud Liando dari Universitas Sam Ratulangi saat membawakan tema “Kelembagaan Partai Politik dan Pengawasan Pemilu” dalam kesempatan yang sama mengungkapkan aktor-aktor pemerintahan merupakan instrument yang penting dalam menentukan perkembangan dan inovasi pemerintahan suatu daerah.
Untuk itu menurutnya dalam dalam poses pemilihan calon Kepala Daerah tersebut diperlukan peraturan Pemilihan yang lebih ketat serta Partai Politik lebih professional dan selektif dalam merekrut calon pengurus dan kader partai,
Ferry pun merekomendasikan beberapa catatan diantaranya revisi terhadap Undang-undang Partai Politik. “Revisi materi dalam UU partai politik dalam hal ini lebih ditekankan pada fungsi parpol dan pengadaan sanksi bagi parpol yang tidak melakukan fungsi parpol.” Terangnya.
Pembenahan dan penguatan kelembagaan partai politik, melakukan program akreditasi kepada parpol dalam meyakinkan kinerjanya serta jika memungkinkan UU Parpol dapat diintegrasikan ke dalam UU Pemilihan Umum.
Politik Program.
Dewasa ini mengemuka issu sentral tentang pentingnya politik program.Politik program dipandang semua kalangan terutama kalangan akademisi dan pakar merupakan pilihan ideal dalam rangka mencapai tujuan dari pada demokrasi yakni mewujudkan kesejahteraan.
Dalam tataran konsepsional operasional, Politik program dimaknai sebagai kegiatan politik terutama kampanye atau bentuk lain yang sejenis yang dilakukan para politisi yang dalam konteks tulisan ini adalah para calon legislatif dan calon kepala daerah yang mengedepankan gagasan dan visi ketimbang politik primordial dan identitas apalagi politik uang.
Politik program hemat penulis nyaris tak menyisihkan kelemahan berarti baik dalam aras penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan rakyat.Potensi lahirnya kekuasaan pemerintahan yang korup dapat diminimalisir sebagai danpak tingginya cost dalam politik primordial, identitas dan politik uang atau Monay politik.
Sebaliknya politik program yang fakus pada kontestasi gagasan, ide, visi dan program pada satu sisi tidak memerlukan biaya politik yang tingga dan pada sisi lain membangun masyarakat politik (elektoral) yang sadar akan posisinya sebagai pemilik kekuasan untuk menghadirkan pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan rakyat.Tipikal masyarakat inilah yang dicita-citakan demokrasi guna membangun relasi rakyat -kekuasaan yang ideal yakni pemerintah sebagai mandataris rakyat untuk mengabdi pada kepentingan rakyat bukan kepentingan oligarki.(***)