Di Ramadhan ini,dari celah bawah pintu depan kediaman saya,terselip beberapa potongan amplop berisi permohonan Zakat,Infaq,Sadaqah.Hal biasa,hampir setiap Ramadhan,itu selalu ada,dan semua kita tahu itu.Salah satu permohonan tadi,dari Takmir sebuah Masjid kampung sebelah yang sedang di rehabilitasi total dan progres fisiknya sudah sekitar 50 persen.
☆☆☆☆☆
Dari Toa masjid itu di awal Jum’at,terdengar laporan penerimaan dan pengeluaran kas dan saldo tersisa.Tak lupa,himbauan agar jamaah yang punya kelebihan rejeki,bisa menyisihkan sebahagian ke kas masjid,yang terlihat sudah lengkap dan bersaldo berpuluh juta itu.
☆☆☆☆☆
Di kasus lain,berpuluh tahun,”finishing”nya terlihat tak pernah selesai.Masjid itu terlihat begitu “lusuh”,seperti tak terurus.Dinding bata yang belum di plester bahkan terlihat telah dominan di tumbuhi lumut tebal,apalagi di musim penghujan.Padahal letaknya sangat strategis,di pertigaan jalan menuju pelabuhan penyeberangan utama ke pulau sebelah.Saya tak menyebut di mana masjid tadi berada,hanya mau di jadikan sampel kasus saja.
☆☆☆☆☆
Kita menghadapi banyak fakta telanjang yang menari-nari di pelupuk mata sebegitu lama tetapi jarang ada yang kritis untuk mencernanya lebih dalam padahal ada “masalah” serius di sana.
Begini maksudnya : umumnya sarana ibadah umat itu di bangun “berbasis” kampung.Konsekwensinya,tanggung-jawab menyelesaikannya menjadi tanggung-jawab warga kampung itu,tak penting seberapa besar sumber daya ekonomi warganya.Jadi “mindset” berbasis kampung ini kemudian tanpa sadar berimplikasi pada pada banyak hal.Dalam contoh kasus masjid, misalnya,yang relatif terkesan tidak berbasis kampung hanya masjid raya,di luar komunitas adat,misalnya.
Akibat lainnya,penamaan tidak lagi menjadi penting.Sebab apapun namanya,pasti di sebut juga embel-embel kampungnya.Masjid utama di kampung Soadara misalnya,pasti di sebut masjid Soadara,jangankan namanya yang bagus,yang memberi namanya imam masjidil haram sekalipun.
Ini contohnya,yang saya maksudkan dengan memelihara mindset kampung.
Ke depan,klaim “kampung” ini akan jadi kampungan,ketika sirkulasi orang berpindah tempat menjadi sangat cepat karena perkembangan tekhnologi,akses transportasi hingga variabel heterogenitas dan lain-lain.Beberapa gejala mulai terlihat saat ini meski dengan skala yang belum mencolok.Implikasinya,masjid kampung menjadi bukan sekedar “milik” kampung lagi,tidak kampungan.
Komentar