oleh

ANIES BASWEDAN: FENOMENA PERTARUNGAN KEKUATAN LAMA DAN BARU DI TINGKAT NASIONAL DAN GLOBAL

Indonesia dan dunia sedang memasuki fase pancaroba. Kekuatan politik lama dan baru sedang berbenturan untuk membentuk sejarah hari esok. Untuk Indonesia, kekuatan lama diwakili penguasa, oligarki, dengan dukungan Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar PAN, PPP), Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra, PKB), dan PDI-P.

Pemain utama di kubu ini adalah Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Konflik kedua tokoh ini bukan pada perbedaan ideologi, melainkan perebutan supremasi di pemerintahan.

Kekuatan baru dilambangkan oleh Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan (Nasdem, Demokrat, PKS, Partai Ummat). Kecuali Nasdem, Demokrat dan PKS adalah partai oposisi. Partai Ummat adalah parpol baru yang dimotori tokoh reformasi Amien Rais.

Pertarungan kekuatan lama dan kekuatan baru makin keras belakangan ini. Kekuatan lama hendak mempertahankan kekuasaan dengan memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang digagas Luhut. KIB mendukung wacana ini. Juga PKB. Sikap Ketua DPD Lanyalla Mattaliti dan Ketua MPR Bambang Soetiyo sama saja. Tidak jelas sikap Gerindra.

Tapi Megawati menolak ide ini karena sama artinya dengan melestarikan kekuasaan Luhut. Tapi tak terlihat keberatannya terhadap upaya Luhut menggusur Anies dari arena pilpres. Meskipun upaya Luhut menimbulkan pertanyaan tentang demokrasi dan legitimasi serta keabsahan pilpres.

Baca Juga  Video Hasto, Apakah Pepesan Kosong?

Di tingkat global, kekuatan lama adalah negara-negara demokrasi di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Jepang di bawah kepemimpinan AS. Sementara kekuatan baru adalah rezim otoriter Rusia dan Cina bersama sekutu mereka (Korea Utara, Iran, dan Suriah).

India dan negara Dunia Ketiga lainnya (termasuk Indonesia) berada di tengah. Mereka tak mau melihat Rusia kalah perang di Ukraina karena dengan demikian hegemoni kekuatan lama bertahan, tetapi pada saat bersamaan ogah kehilangan hubungan baik dengan kekuatan lama yang masih powerful dalam ekonomi, militer, teknologi, dan geopolitik, yang mereka butuh untuk menjamin keamanan dan memajukan negara mereka.

Kedua kubu itu juga sedang memasuki fase pancaroba. Palagannya adalah Ukraina. Bila Rusia (dgn dukungan pasif Cina) kalah perang, pengaruh kekuatan lama atas dunia akan membesar. Bila sebaliknya, tatanan dunia yang multipolar akan terbentuk di mana hegemoni kekuatan lama akan meredup.

Sengitnya pertarungan kekuatan lama dan baru terlihat jelas dalam dinamika perang Ukraina. AS dan kawan-kawan habis-habisan membantu Ukraina untuk menghadapi perang all out Rusia. Di luar bantuan ekonomi, belum jelas apakah Cina memasok peralatan militer ke Rusia. Namun, Korut dan Iran melakukannya.

Baca Juga  *Dukung PIK 2, Ah Lu Lagi...Lu Lagi...*

Pertarungan dua kubu itu berimbas juga ke Indonesia yang mendinamisasi politik dalam negeri. Baik kekuatan lama maupun kekuatan baru global sama-sama melihat Indonesia sebagai negara strategis dalam konteks persaingan AS dan Cina di Indo-Pasifik.

Terkait pilpres di Indonesia, Cina mendukung kekuatan lama yang telah banyak memberi keuntungan ekonomi padanya. Juga keuntungan geopolitik yang berhubungan dengan klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan (LCS) antara Cina dengan empat anggota negara ASEAN (Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina).

Dengan sikap “permisif” pemerintahan Jokowi terhadap aktivitas Cina di kawasan maritim yang sangat strategis itu, posisi Cina di LCS bertambah kuat. AS menolak klaim Cina di LCS, tempat lalu-lalang kapal-kapal komersial internasional yang mengangkut barang senilai sekitar US$ 5 triliun per tahun.

Tak heran, AS ingin LCS tetap menjadi kawasan bebas navigasi internasional. Kebetulan, konvensi hukum laut PBB ( UNCLOS) di mana Cina salah satu penandatangannya juga menolak klaim Cina itu. Namun, posisi AS tak kuat karena bukan penandatangan UNCLOS. Karena itu, AS mendukung posisi Indonesia khususnya yang juga dengan sikap hati-hati meminta Beijing menaati konvensi PBB itu.

Baca Juga  Kejujuran Sang Presiden Ksatria

Sejauh ini, hubungan Washington dengan Jakarta baik-baik saja, tetapi ada kekhawatiran Indonesia dapat terseret semakin jauh ke dalam lingkungan pengaruh Cina apabila ketergantungan ekonomi Indonesia pada negara Tirai Bambu itu makin besar terkait utang di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Karena itu, terindikasi AS dan sekutunya mendukung kekuatan politik baru di Indonesia. Misalnya, beberapa waktu lalu, Dubes AS untuk Indonesia Yung Wong Kim mengunjungi markas PKS. Yang juga fenomenal, Anies semakin sering diundang ke pusat-pusat politik kekuatan lama. Di masa dekat mendatang, bisa jadi Anies pun akan diundang ke AS, Jerman, Perancis, Jepang, dll.

Kekhawatiran AS pada Indonesia bukan hanya pada membesarnya pengaruh ekonomi, tapi juga pengaruh politik Cina. Hal itu terkait dengan semakin banyak warga Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi di Cina dan kerja sama 6 parpol Indonesia dengan Partai Komunis Cina (PKC).

Dua berasal dari kekuatan baru (Nasdem dan Demokrat) dan empat dari kekuatan lama (PDI-P, Golkar, Gerindra, dan PPP). Kerja sama ini menjadi perhatian publik Indonesia dan AS mengingat PKC, melalui kerja sama dengan PKI, dituduh terlibat dalam tragedi nasional 30 September 1965.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *