OPINI

PILPRES, POLITIK IDENTITAS, KEMISKINAN DAN TANTANGAN GLOBAL.

By. USMAN SERGI/Jurnalis

 

Pilpres bukan sekedar ceremonial politik konstitusional lima tahunan tetapi sejatinya sebagai upaya demokratis untuk mencari solusi kebangsaan.Problem internal dan tantangan global semestinya menjadi maeanstream solutif segenap anak bangsa.

Realtime ! Kondisi aktual bangsa semestinya menjadi konsen seluruh stackeholder.issu kemiskinan, hutang, oligarki, minimnya kualitas SDM, lemahnya daya saing- ketergantungan pada Import, kemandirian ekonomi dan industri, Sparatisme, keadilan sosial, penegakan hukum, HAM, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan tenun kebangsaan harus menjadi konten wacana Pilpres.

Mem blow up  issu politik identitas sudah jelas tidak nyambung sebaliknya melemahkan.Issu yang tidak substansial bahkan menyesatkan akal sehat.Apa substansinya nya politik identitas Presiden orang Jawa dengan kehidupan masyarakat Jawa selama ini.Bukankan pulau Jawa adalah kantong kemiskinan ?Jateng saja masih mengoleksi kemiskinan tertinggi.

Bangun politik yang mencerdaskan dan menyatukan bukan Trik politik identitas yang mendungukan dan memecah yang sudah waktunya dimusnahkan.

Itonis ! Sepekan kemarin, tetiba salah satu pejabat penting RI mengeluarkan statemen kontroversial. Sebuah pernyataan yang menohok akal sehat bangsa. Presiden tetap orang Jawa. Demikian kurang lebih pernyataannya.

Premisnya mungkin berbasis
pada aspek kekuatan elektoral etnis Jawa sebagai etnis mayoritas di Indonesia, lalu ia simpulkan inheren dengan kemenangan Pilpres.

Dalam aspek kajian sosiologi politik, itu benar. Namun sebagai pejabat negara, dengan hanya melihat fakta sosial, apalagi memanfaatkannya sebagai kepentingan pragmatis tanpa tindakan kritis untuk mengubahnya ini menjadi problem etis yang sangat serius.

Sebagai pejabat negara, kewajiban konstitusional harus mendorong upaya persatuan, bukan pembelahan terhadap anak bangsa. Ente pejabat negara, bukan pengamat.

Rupanya bukan kasuistik tetapi konspirasi yang sistematis untuk memdungukan anak bangsa yang mulai menemukan spirit transformatif ala ARB.

Tidak cukup, oknum intelektual ikut bikin blunder dengan vidio ajakan warga agama tertentu harus bersatu memilih salah satu Capres jika tidak maka ARB lah pemenang Pilpres.

Manuver sosok intelektual semakin menikam nalar sehat bangsa.Yang satu menusuk permusuhan etnis sedangkan yang satu lagi mematik intoleransi.Mereka kek urunan memecah bangsa kita.

Sebagai pejabat, bukanya mendorong pencerahan anak bangsa, persatuan dan kedamaian di tengah pluralitas, tetapi justru malah ikut kian memecah anak bangsa.

Why ?

Jawabnya mudah yakni kepanikan. Mereka panik atas kesadaran rakyat yang mulai tumbuh mengharapkan terjadinya tranformasi atau perubahan bangsa. Sementara mereka sadar kebobrokan mereka di semua sektor kehidupan telah tercatat rapi di benak rakyat. Janji manis yang terlunta mengakibatkan kesengsaraan rakyat pula yang dipersembahkan.

Jalan tidak sampai ke Roma, kata pepatah. Maka politik identitaslah jadi pilihan trik satu-satunya.
Kesengsaraan rakyat harus dikemas rapi dengan kertas kado politik identitas karena bakalan menggores hati pemeluknya, lalu hilang akal sehat. Masa depan bangsa dikorbankan.

Politik identitas merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, etnisitas atau primordialisme, juga pertentangan agama, kepercayaan, dan bahasa.

Menurut William G. Sumner, di dalam grup atau kelompok masyarakat terdapat sebuah persamaan yang berbentuk persaudaraan. Dimana hal itu ditunjukkan dengan kerjasama, saling menghormati, dan saling membantu serta mempunyai persamaan solidaritas. Selain itu, antar anggota kelompok juga harus memiliki kesetiaan terhadap kelompoknya dan bersedia untuk berkorban demi kepentingan kelompoknya.

Kandungan sentimentil politik identitas inilah yang hendak dieksploitasi secara politis dan pragmatis oleh kawanan pro status quo ini.

Mendorong politik identitas potensial berdanpak multidimensional, yakni mengganggu kelangsungan hidup berbangsa, menghambat modernisasi, mengganggu hubungan antar bangsa, mengabaikan aspek obyektifitas. Juga menjadi penyebab adanya diskriminasi, selain otomatis juga menjadi faktor terjadinya konflik antar suku yang membahayakan buat bangsa.

Apa pasal politik identitas terus disuarakan oleh mereka yang selama ini justru getol mengklaim sebagai pahlawan yang ngaku-ngaku kontra politik identitas.

Pertama, karena ada kepanikan. Diam-diam ternyata mereka menyimpan ketakutan luar biasa akan kemenangan ARB. Mereka dengan semua tuduhannya sesungguhnya sedang menguak bobrok diri sendiri.

Kedua, ditenggarai kawanan pendukung rezim sedang membangun politik sentimen primordial suku dan agama untuk mengemas kegagalan demi kegagalan banyak aspek, terutama soal kemiskinan.

Soal politisasi Presiden Jawa misanya, Mereka nampak menyadari bahwa di tengah era keterbukaan dimana masyarakat tradisional Jawa mulai bertransformasi secara kritis mempertanyakan kelangsungan politik Jawanisasi dalam konsolidasi kepemimpinan nasional.Perkuat lagi sentimen primordial, itu kesadaran politik mereka.

Kaum ini rupanya telah menyadari bahwa masyarakat Jawa mulai menyadari bahwa Presiden harus orang Jawa adalah ilusi sentimen yang tidak mendasar guna meraih kemenangan atas kemiskinan masyarakat Jawa. Manuver pragmatis mendorong mobil mogok.

Data statistik dan fakta empiris menunjukan kemiskinan masyarakat Jawa berbanding lurus dengan Pemimpin harus orang Jawa .
Lihat saja data statistik ter-up date, provinsi Jawa Tengah merupakan pengoleksi kemiskinan tertinggi di pulau jawa dan Indonesia.

Secara empirik, gembel dan pak ogah merupakan pemandangan sosial yang terang terjadi di pulau Jawa.

Mengapa orang Jawa masih mendominasi kemiskinan?

Kemiskinan masyarakat Jawa adalah kemiskinan struktural, kemiskinan yang sistematis dan atau disebabkan kebijakan pemerintah.
Kenaikan harga BBM, kenaikan harga kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan upah buruh murah adalah bentuk proses pemiskinan rakyat yang sistematis .

Mahatma Gandi seorang tokoh sosial asal India mengatakan kemiskinan sebagai bentuk terburuk dari kekerasan. Akar kemiskinan setidaknya bisa dilacak dengan dua pendekatan yakni pendekatan struktural dan kuktural.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan salah urus pemerintah sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabakan faktor kultur masyarakat itu sendiri.

Masyarakat Jawa dikenal merupakan masyarakat yang rajin, ulet dan memiliki etos kerja yang tinggi namun kebijakan struktural ah yang menimbulkan kemiskinan masih tak lepas dari masyarakat nya.

Klop dah, politik identitas itu digembar gemborkan hanya untuk membunuh kesadaran rakyat atas fakta kemiskinan yang terjadi, sehingga kemiskinan itu terlihat begitu indah (***)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *