SELAMAT JALAN, EL (Mengenang Kepergian Dr. Helmi Alhadar, M.Si).By : Smith Alhadar
Helmi pergi tak disangka-sangka! Terlalu muda, terlalu diharapkan. Seperti meteor ia melintas. Berkilau sebentar, lalu redup. Remuk hati ini untuk perpisahan abadi yang tak dikehendaki. Ya, terlalu cepat Helmi pergi, padahal pesta baru saja dimulai dan musik pertama yang dia sukai sedang dimainkan.
Kita tahu ketergesaannya pergi bukan maunya, tapi bagaimana kita harus memaklumi musibah ini? Takdir! Tapi, aduh, kok sakit sekali. Tidak mungkin alam tidak menangis menyaksikan kepergian lelaki muda berilmu yang selalu merayakan kehidupan sebagai rahmat.
Kita juga menangis, malah lebih daripada itu, meskipun mungkin Helmi tak berkenan. Toh, sepanjang hidupnya yang hampir selalu berat, dia hadapi dengan rasa syukur yang melimpah. Tak sekali pun ia mengeluh, tak pernah, bahkan saat penyakit durjana itu menganiaya hidupnya habis-habisan.
Kita sangat menyesali musibah ini dan mempertanyakan makna di baliknya. Orang-orang tolol dan serakah masih dibiarkan berjalan di muka bumi dengan sombong, tapi jalan kebaikan dan kesederhanaan yang dipilih Helmi harus terhenti di tengah jalan. Ya Allah, ampun atas garis hidup yang Engkau tetapkan untuk Helmi, pokok muda yang belum lagi merimbun.
Tak ada lagi diskusi ilmu yang Helmi tawarkan kepada kita. Ilmu yang bermanfaat, yang dipelajari dengan susah payah selama bertahun-tahun, hanya untuk lenyap tiada sisa, bagai embun menguap sebelum siang. Mari kita pulang ke rumah Ilahi untuk minta ampun dan ikhlas menerima ketetapan Allah yang ganjil, yang selamanya tak akan pernah kita fahami. Dan percuma kita panggil Helmi pulang.
Tragis. Tapi kita harus berani menerima kekalahan sejak sekarang, karena besok kita pun akan pergi. Mungkin dengan kesia-siaan. Memang hidup adalah perjuangan yang tak akan pernah kita menangkan. Kita hanyalah bidak-bidak di papan catur, disorong ke sana ke mari sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam kotak. Dan dilupakan. Yang abadi hanyalah akhirat, sisanya adalah kefanaan yang percuma.
Namun, seperti Helmi, mari kita songsong setiap datang mentari pagi, meskipun kelak air mata kelelahan akan menghapus tiap-tiap jejak langkah kita. Siapa tahu ada yang berharga yang kita tinggalkan pada orang lain. Helmi telah menebarkan ilmu kepada ribuan orang yang mana orang demikian Allah janjikan ditinggikan derajatnya melebihi syuhada. Namun, ini pun belum menghibur kita. Helmi pergi secepat angin berlalu untuk alasan yang selamanya akan jadi misteri.
Kami ingat di awal 1990-an, Helmi muncul di Jakarta dengan pakaian di badan. Memang tidak ada apa pun yang dia bawa, kecuali semangat membara merengkuh ilmu. Padahal, tak ada sedikit pun cahaya di cakrawala bagi masa depannya. Gelap seluruhnya karena kami pun masih hidup susah.
Dalam keadaan demikian, tak mungkin orang memiliki mimpi. Tapi Helmi punya, seolah dia sedang melawan takdir untuk tidak menjadi orang terbuang. Mengharukan! Bagaimana mungkin masa depan bisa diraih dengan keterbatasan yang sempurna?
Dengan jiwa besar, Helmi menghadapi semuanya dengan enteng, bak pangeran dari kahyangan yang berlenggok ringan di atas bumi. Tak lama, ia mendapat pekerjaan rendahan yang membosankan. Ajaib, lelaki yang angkuh pada dirinya sendiri menerimanya dengan senang hati, karena secara tepat dia melihatnya sebagai satu-satunya sarana yang tersedia baginya untuk mengubah jalan hidupnya. Ia jalani pekerjaan itu bertahun-tahun dengan semangat spartan, dengan mengabaikan semua rasa sakit jiwa dan raga.
Ketika menerima gaji pertama yang tak seberapa, ia gunakan untuk mendaftar ke universitas. Lalu, ia pindah ke rumah kos, mungkin sekali untuk tidak memberatkan saudaranya. Helmi memang tak mudah menerima uluran tangan orang lain. Nyaris segala hal ia hadapi sendirian dengan tangan kosong. Sering kami kunjungi kamar kosnya yang sederhana berdinding tripleks. Kasur dan bantal yang dia gunakan sudah kumal.
Tapi dia nikmati semuanya dengan rasa syukur, seolah ini saja sudah merupakan karunia besar yang tidak pernah dia minta. Bukankah ini cermin kepribadian yang besar? Helmi memang hamba yang ceria dan optimis sejak kecil, seolah dunia dan jeroannya mampu ia pikul seluruhnya.
Sarjana S1 diraihnya dengan rendah hati tepat waktu tanpa gembar-gembor, meskipun kita tahu perjuangannya sungguh luar biasa. Tapi, setelah itu, tanjakan panjang berliku masih harus dia daki sendirian. Ketika istri yang dicintainya pergi, Helmi menerima dengan lapang dada tanpa caci maki. “Di hari perpisahan itu, aku sangat menderita dalam mencintaimu. Tapi pergilah ke mana kau suka, jauh pun tak mengapa, meskipun perih sungguh perceraian ini.”
“Helmi…Kami mencintaimu”. Tapi cinta kita tak lagi berguna, bahkan selama hidupnya tak ia butuh kasih sayang orang karena seisi dunia ini di mana dia adalah bagiannya sudah dia anggap cinta Allah yang tak terhingga kepada dirinya. Subhanallah!
Bukan main luas jiwanya! Dalam keadaan sakit yang tak tertanggungkan pun dia tak berprasangka buruk pada Pencipta-nya. Justru kita yang kecewa dia berlalu begitu cepat, seolah dia tak ingin untuk dikenang. Sungguh mati kita tak rela perginya pribadi bertanggung jawab yang menyenangkan. Rasanya seperti tidak ada keadilan di dunia ini!
Mungkin kita berdosa mempertanyakan keadilan Ilahi. Tapi Allah pasti memahami rasa kehilangan kita yang luar biasa perihnya. Barangkali Helmi kecewa tak diberi kesempatan lebih banyak untuk beramal salih dalam ilmu, tapi dia mewariskan sikap moral yang tangguh, yang akan kita kenang selamanya. Bahwa kemauan keras dan istiqamah, jujur dan berani, ikhlas menerima realitas, adalah kunci menghadapi kehidupan yang culas.
Hidup sederhana tetap menjadi pilihannya saat dia telah mencapai gelar doktor. Tak peduli masyarakat malu punya rumah kumuh dan karena itu berlomba membangun “istana”, Helmi bertahan di rumah yang bahkan tak layak bagi masyarakat paling bawah sekalipun.
Baginya, kaya ilmu jauh lebih bermartabat ketimbang kaya harta. Dia benar! Kalau semua orang berpikir seperti dirinya, tak akan ada kecemburuan sosial, konflik, perang, dan masyarakat egaliter adil-makmur yang dicita-citakan Islam akan terwujud. Tapi Helmi telah pergi. Mengapa Allah tak menunda kematiannya sampai misi hidupnya mencerahkan lebih banyak orang tersampaikan?
Helmi masih ingin hidup. Saat kematiannya nyaris pasti, saat kanker jahanam telah menggerogoti seluruh organ tubuhnya, ia masih melawan seolah maut bisa ditunda. Dia tak berniat melawan takdir. Sekadar ikhtiar, siapa tahu Allah berkenan atas keinginannya melihat putri semata wayangnya tumbuh bahagia dan berhasil dalam pendidikannya. Namun, meskipu keinginan sederhana ini pun tak kesampaian, Helmi minta kita untuk tidak menyesalinya.
Beberapa hari sebelum tiba ajalnya, sering kami menemuinya di Pondok Gede. Dia seperti tak peduli pada sakitnya dan dengan susah payah masih mengajak kami bicara politik nasional dan sepak bola. Memang dua isu ini yang paling banyak menyita perhatiannya. Melalui ilmu politik, ia berkontribusi bagi pencerahan masyarakatnya di Maluku Utara. Komentar dan tulisannya di media-media lokal disambut masyarakat dan dia bahagia meskipun tak dibayar.
Dunia sepak bola mungkin merupakan satu-satunya hiburan di tengah kesibukannya mengajar. Menjelang event piala dunia yang tinggal beberapa bulan lagi, nampak Helmi sangat ingin menyaksikannya. Dia masih berusaha bicara tentang peluang-peluang yang tersedia bagi tim-tim besar. Kami hanya bisa mendengar karena tak mengikuti perkembangan kompetisi pra-piala dunia. Sayang, pesta sepak bola terakbar di dunia itu, yang diharapkan akan menjadi hiburan terakhirnya, tak kesampaian.
Kita kehilangan seorang sahibul hikayat yang humoris, yang selalu menertawai hidup. Ciiisss…hidup hanyalah kekosongan. Yang ditangkap segera saja lepas. Memang hidup hanyalah fatamorgana. Musafir yang dahaga di gurun tandus merasa telah menemukan air hanya untuk disadarkan bahwa itu hanyalah ilusi, seperti si miskin mengigau menang lotrei hanya untuk dibangunkan oleh realitas yang getir. Tak apa, biarlah semua tak berguna, musafir malang harus terus berkutat hanya untuk hilang di cakrawala.
Ya, hidup hanyalah permainan anak-anak: penuh kegembiraan, jugs tangisan, tak bermakna apa-apa. Budha menganggap hawa nafsu sebagai biang kerok kemalangan hidup manusia. Tapi Helmi menganggap nafsu yang diciptakan Tuhan bukanlah hal sia-sia dan harus dirayakan untuk menggerakan kehidupan, meskipun dia tahu kehidupan hanyalah panggung sandiwara yang dimainkan Dalang, yang ujungnya adalah panggung melompong ditinggal penonton diam-diam.
“Maafkan kami atas khilaf yang disengaja maupun tidak, sebagaimana kami juga telah memaafkanmu.” Tak ada manusia yang sempurna. Helmi juga banyak kekurangan. Tapi ketidaksempurnaannya justru menyempurnakan dirinya sebagai manusia. Helmi pernah salah dan lalai, tapi dia selalu ada buat siapa pun yang butuh pertolongannya meskipun kebutuhannya sendiri tak pernah tercukupi sepanjang hidupnya.
Kematian justru merupakan pembebasan manusia secara mutlak dari kerangkeng kehidupan fana menuju kehidupan lain yang hakiki, yang abadi aman sentosa bagi pribadi-pribadi yang menghargai semua corak kehidupan, yang selamanya pahit sekalipun. Jasadnya tak lagi ada, tetapi spiritnya akan tetap abadi karena ilmu yang diwariskan kepada ribuan mahasiswa akan diturunkan kepada orang lain terus-menerus sampai bergenerasi-generasi dan itu menjadi amalnya di dunia.
Kepada Fitri dan Rana, juga keluarga besar, sudahi saja tangisan meskipun tetap saja berharga sebagai ungkapan kerinduan pada almarhum. Helmi tak membutuhkan itu. Yang diperlukan lelaki tangguh adalah kesediaan kita berdamai dengan keperihan bagaimanapun itu. Itulah yang diteladankan Helmi kepada kita. Pergilah wahai musafir tangguh yang murung, insya Allah husnul khatimah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan, El.
Tangsel, 22 Juli 2022